Membaca puisi-puisi Nana terasa kental nuansa kepahitan dan kegetiran dalam kehidupan yang tak terpahamkan. Jadilah itu kabut yang menutup pandang tentang kenyataan. Membangkitkan sejuta pertanyaan pertanyaan yang bahkan dia sendiri telah menyerah dalam mencari jawab nya dengan melingkarkan jawaban adalah sebagai pertanyaan itu sendiri. Entah yang ditulisnya adalah perjalanan hidupnya sendiri atau hanya sekedar imajinasinya saja, namun keberaniannya untuk mengungkapkan sangat layak untuk dibaca dan diacungin ibu jari karena apa yang dituliskannya adalah salah satu penafsiran atas penglihatannya tentang kehidupan meskipun kabut mencoba menutupinya. (DR. Ir. Loektamadji A. Poerwaka M.T. M.H. - pencinta sastra)
“…tak terelakan, kita akan terdiam di tengah kesendirian…” (Kidung Kematian) adalah salah satu larik yang menarik bagi saya. Atau, dengan kata lain, demikianlah puisi-puisi Nana hidup dan berawal dari kesendirian. Ia serta merta mengkristalisasikan pengalamannya berjalan ke berbagai tempat, ruang, dan waktu seperti dalam sajak Pelabuhan Ratu,
Rupanya, Nana paham betul bagaimana seharusnya ia menyikapi kesendiriannya. Ia berhasil mereka ulang pengalamannya sebagai puisi. Selain mereka ulang, ia juga menyatakan sikap yang tegas melalui cara pandangnya sendiri atas segala hal yang terjadi, dan melingkupi dirinya. Maka, tidak heran, jika puisi-puisi Nana begitu khusyu mengolah kesendirian sebagai simulacrum. (Yopi Setia Umbara – penyair)
Puisi-puisi Nana Sastrawan adalah sebuah naskah panjang yg tak akan pernah bisa selesai hanya dengan satu kali pementasan.
Saya melihat ada pesan tragis yg dititipkan oleh sipenyair pada tokoh-tokoh (yg entah sipenyair itu sendiri atau orang lain) dalam puisi-puisinya yg ketika dimaknai dengan kata-kata seperti mencungkil semangat untuk bergerak dan hidup. Meski bentuknya bisa saja komedi sekalipun. Di sinilah kekhasan atau keunikan puisi-puisi Nana, yaitu kentalnya visualisasi yg imajiner baik suasana, bentuk ruang, juga tokoh-tokohnya. Sehingga bagi saya hal itu menarik sekali untuk diapresiasikan dalam sebuah bentuk pertunjukan ritual yg bernama teater. (Ayak MH - sutradara Teater KOIn)
Nana adalah tubuh puisi yang hidup. Saya curiga puisi-puisinya di buku ini adalah matanya, hidungnya, telinganya, dan segala indranya yang lain. (Pringadi Abdi Surya - penyair dan cerpenis)