CERPEN DI KORAN SUARA TANGSEL EDISI 1 OKTOBER 2011
by Unknown , at 05.12 , has 0
komentar
SUATU SORE DI HARI TERAKHIR
Oleh Nana Sastrawan. S.Pd
Setibanya di tempat yang menurutnya cocok, ia mulai menghantamkan cangkul untuk menggali tanah. Pukulan demi pukulan terus dilakukan, namun apa yang terjadi? Tanah kering, warnanya coklat pucat tak kunjung dalam tergali. Ia melotot dan sesekali meludah, kemudian tak menyerah menghantamkan cangkul dengan sekuat tenaga. Semakin lama sekujur tubuhnya terguyur peluh yang keluar dari pori-pori kulitnya, tubuhnya kini mengkilap seperti warna baja akibat terik sinar matahari menyengat. Rupanya tanah di musim kemarau sungguh tandus, ia kesal lalu mengambil botol minum kemudian meneguknya hingga kering tenggorokan terobati. Ia mengusap keringat di wajah dengan ujung baju, tampak guratan kulit wajah yang keriput, alot terlihat seperti telah menyimpan berpuluh-puluh tahun perjalanan. Tubuhnya kini bungkuk dan langkahnya berat, menuju sumur di depan pintu gerbang masuk pemakaman.
Lama ia terpaku di tepi sumur tua itu, matanya melirik ke sekitar sudut mencari sesuatu. Didapati sebuah ember kaleng yang sudah berkarat, tak berpikir panjang ia ambil kemudian menurunkan timba ke dalam sumur. Lubang sumur itu seperti sebuah jalan menuju ruang di dasar bumi, dalam, gelap dan panjang. Bahkan ketika timba mengenai dasarnya hampir tak terdengar suara benturannya. Setelah yakin, ia menarik timba dengan sisa tenaga di usia renta. Hasil yang diharapkan tak begitu memuaskan, hanya setengah timba air didapat namun ia mencoban lagi, setelah itu dituangkan ke dalam ember kaleng. Ketika merasa cukup, ia beranjak menuju tanah cangkulan, kemudian air itu sedikit demi sedikit disiramkan lalu melanjutkan pekerjaanya. Beberapa menit kemudian, cangkul itu kembali membentur tanah kering. Kini wajah tabahnya berubah menjadi kesal, dibanting cangkul sambil mengumpat dengan nada benci.
“Kemarin, aku menyangkul liang lahat untuk seorang pelajar yang membiarkan tubuhnya dihantam kereta api akibat tidak lulus ujian. Dalam sebuah peti mati, dan hanya beberapa potong daging dan tulang saja. Hasilnya cangkulku patah.” Lalu melangkah menuju sumur, kemudian mengambil air.
Kebenciannya tak bisa reda begitu saja, sepanjang menimba terus saja mengoceh. Seolah ingin menumpahkan kegiatannya selama ini, yang bisa jadi ia memang membenci apa yang telah dikerjakan sendiri.
“Semakin lama pemakaman ini akan menjadi areal pemakaman khusus bunuh diri. Yang paling menyusahkan ketika tubuh perempuan hamil itu harus segera dikubur, sementara hari menjelang malam. Perempuan sial memang! Sudah bunting tak punya suami, tubuhnya membusuk ditiang gantungan, masuk liat lahat pun masih sengsara.” Gumannya, dan tergopoh-gopoh membawa seember air.
Ia menyiramkan seluruh air itu seluas ukuran kuburan, tanpa pikir panjang melanjutkan menggali, mata cangkulnya sedikit demi sedikit mengangkat tanah ke permukaan. Pekerjaan yang melelahkan sekaligus memaksa untuk membuat keputusan yang paling sulit dilakukan, yakni sabar. Namun pada hakikatnya pekerjaan ini sangatlah mudah karena hanya satu saja tujuan hasilnya yaitu sebuah lubang persegi panjang. Tidak ada benda lain untuk membuat lubang ini, cukup cangkul dengan tanah sebagai objeknya. Mungkin hanya itu mengapa kematian dikatakan mudah dibanding kehidupan. Jika ingin mati sekali tikam saja pisau ke jantung seluruhnya akan hilang berbeda dengan kehidupan yang harus berjalan mengarungi waktu.
“Sial!” Ia melempar cangkul ke permukaan, sudah setengah liang lahat terbentuk. Ia kembali mengambil ember dan berlari menuju sumur. Namun, kembali ia harus membanting benda-benda yang membantunya bekerja.
Sumur tua itu telah kehabisan air, kemarau yang panjang telah menghisap seluruh air disekitar pemakaman itu. Ia menatap ke sekeliling, hamparan kuburan tandus. Lama terpaku menatap nisan-nisan yang tertutup ilalang kuning mengering. Matanya merah berair, urat-urat disekujur tubuh mengencang dan nafasnya memburu. Tenggorokan kering, terlalu kering dari musim kemarau. Ia meludah, tak ada segumpal liur meloncat dari mulut. Lelaki tua bungkuk itu sudah sangat payah.
Lelaki itu menyeret kakinya, jalannya kini semakin berat. Bahkan mulai terbatuk-batuk, bajunya sudah lengket oleh keringat dan tercampur tanah. Sementara langit berubah merah dan matahari bulat bersinar darah, ia harus menyelesaikan pekerjaannya. Diraih botol minuman, direguk dan sisanya dikucurkan ke tanah yang akan kembali dicangkul.
“Mengapa koruptor tidak mati bunuh diri? Mereka tetap saja tidak pernah putus asa walau bertahun-tahun di penjara. Mengapa rakyat jelata banyak yang mati bunuh diri?” Tanyanya dengan wajah yang terlihat tengah memikirkan sesuatu, beberapa saat kemudian ia tersenyum sinis seolah sudah menemukan jawabannya.
Ditengah kegiatannya membuat liang lahat, ada empat orang menggotong keranda yang dipimpin oleh lelaki tegap berambut keriting dan berkumis tebal, wajahnya paling sangar diantara yang lain. Tak ada iringan lain, mereka yang membawa keranda pun tampak enggan menggotong keranda itu. Dari situasi dan kondisinya pastilah yang mati ini adalah seorang pembunuh atau pencuri yang selalu dimusuhi oleh rakyat jelata lainnya. Lelaki berbadan tegap itu, memandang lelaki tua bungkuk dengan wajah bengis, wajah yang selalu malas untuk dilihat oleh wajah lainnya.
“Sudah siap lubangnya? sebentar lagi malam. Jangan sampai mayat ini tak bisa dikuburkan.” Bentaknya.
Lelaki tua bungkuk itu tak menoleh sedikit pun, ia terus menggali menyelesaikan pekerjaannya. Sementara keempat pembawa keranda itu telah meletakan keranda di tepi liang lahat, mereka memasang wajah bosan dan menyebalkan. Lelaki tegap itu melirik, akan tetapi mereka tak terpengaruh bahkan mereka semakin menunjukan wajah ketidak setujuan berada di areal pemakaman ini.
“Nanti aku tambah upah kalian, asal mau bantu aku menguburkan mayat ini!”
Mereka saling pandang, seakan mengadakan diskusi dengan tatapan mata. Sebuah percakapan yang dilakukan oleh pikiran dan perasaan masing-masing tanpa ada adegan perbincangan. Tentu menghasilkan kesepakatan yang saling mengerti dan memahami keinginan masing-masing. Salah satu dari mereka pun angkat bicara.
“Maaf bang, kami harus kembali ke pangkalan, sore begini biasanya pangkalan rame oleh penumpang.”
Lelaki itu melotot, kedua bola matanya seperti akan loncat. Namun mereka tidak gentar dengan pendiriannya, tanpa dikomando mereka pun balik menatap. Akhirnya lelaki itu mengalah, kemudian merogoh kantung celana dan memberikan beberapa lembar uang. Mereka pergi tanpa berkata sepatah kata pun.
Kini, matahari telah tak tampak. Alam raya meredup, seperti pandangan seorang yang tengah mengantuk. Lelaki tua bungkuk naik ke permukaan dengan susah payah, ia memandang lelaki tegap itu. mereka berdua menatap keranda yang tertutup rapat oleh kain bertuliskan la ilaha illallah. Sementara cakralawa diselimuti awan-awan hitam. Gelap menggantung di atas tanah pemakaman. Dalam keadaan seperti ini suasana hening terasa begitu mengerikan, mereka berdiri tujuh langkah di depan keranda.
“Mengapa ia bunuh diri?” Tanya lelaki tua bungkuk.
“Karena sudah bosan hidup.” Jawab lelaki tegap.
Lelaki tua bungkuk itu mengernyitkan dahi, ia tengah berpikir bahwa rasa takut dalam menghadapi kematian sungguh akan terjadi bagi siapun yang hidup. Namun itu hal lain jika seseorang yang hidup tidak memiliki rasa takut ketika menghadapi kematian dengan berani mereka melakukan aksi bunuh diri. Ini bukan yang pertama baginya, akan tetapi alasan itu tidak bisa diterima oleh akal sehat. Apakah yang pernah mengalami penderitaan tak memiliki rasa takut akan kematian?
Lantaran hari akan menjelang larut, mereka membuat kesepakatan dengan tatapan dan gerak mereka. Mayat segera di angkat dan dikuburkan layaknya mayat pada umumnya. Setelah itu, sedikit demi sedikit liang lahat ditimbun oleh tanah galian. Tanah yang menimpa mayat terasa seperti ribuan anak panah menusuk tubuh, dan beberapa perasaan lain; sesak dan berat. Dalam hal ini seperti tengah berlangsung sebuah lilitan tali yang bergerak menekan alat-alat vital di organ manusia. Jantung berdegup lambat, semakin lambat sehingga darah tak terasa mengalir. Pikiran-pikiran perlahan buyar, dan ketika tanah galian terakhir menimbun lalu membentuk sebuah kuburan, aku merasakan gelap gulita….
Biodata Singkat : Nana Sastrawan, kelahiran 27 juli. sekarang menjadi guru bahasa inggris di SMK Kebangsaan Pondok Aren. bukunya yang sudah diterbitkan antara lain: Tergatung Di langit (2006), Nitisara (2008), Kitab Hujan (2010). karyanya juga tergabung dalam buku: Menggenggam Cahaya (2009), Empat Amanat Hujan (KP Gramedia 2010), Kado Sang terdakwa (2011). dan cerpen-cerpennya bisa dinikmati di buku Hampir Sebuah Metafora (2011).
bisa di sapa di facebook : Nana Sastrawan atau www.pecintakesunyian.blogspot.com
About
CERPEN DI KORAN SUARA TANGSEL EDISI 1 OKTOBER 2011 - written by Unknown , published at 05.12 . And has 0
komentar
0
komentar Add a comment
Bck