Seumpama hujan di ibaratkan tangisan,
Dan matahari sebagi senyuman.
Maka kau butuh keduanya untuk mendapatkan pelangi kebahagiaan
Setelah membereskan buku – bukunya, Naira segera beranjak meninggalkan kampus. Namun belum sampai langkahnya mencapai gerbang getaran di saku terlebih dahulu menghentikan langkahnya. Tanpa pikir panjang segera di pencetnya tombol tersebut ketika mendapati sebuah pesan masuk .
“Aku menunggu mu di depan kampus”
Naria Segera mengedarkan padangan ke sekeliling begitu selesai membaca pesan yang tertera. Arah pandangannya terhenti kearah sebuah mobil yang terpakir tak jauh dari kampus . Tanpa pikir panjang Naira segera berjalan kearah mobil tersebut yang telah ia kenal sebagai milik Steven. Tak terasa sudah hampir Satu bulan mereka saling mengenal. Dan sepertinya dari hari kehari hubungan mereka semakin akrab. Naira sendiri juga sama sekali tidak keberatan. Justru ia malah merasa nyaman.
“Tumben kau menjemput ku. Ada apa ni?” tanya Naria langsung setelah ia sukses mendaratkan tubuhnya disamping Steven yang terlihat menyetir dengan santai.
“Kau sudah makan siang belum?” tanya Steven tanpa menjawab pertanyaan Naira. Kali ini Naria hanya membalas dengan gelengan. Kening Steven terlihat mengernyit heran, diliriknya jam yang melingkar di tangan. Pukul 13:35. Tanpa pikir panjang segera di belokannya mobil kearah sebuah rumah makan.
“Kita mau ngapain di sini?”.
“Kalau seandainya aku berkata aku mau mengajakmu camping disini apa kau percaya?” tanya Steven dengan tampang serius. Tapi Justru malah membuat Naria tersenyum cangung. Tanpa banyak kata ia segara mengikuti langkah Steven masuk kedalam kaffe itu. Segera duduk dihadapan Steven yang telah terlebih dahulu memilih mejanya.
Credit Gambar : Star Night
“Kau mau makan apa?” tanya Steven sambil membolak balik buku menu yang ada di tangannya.
“Aku pesan mie so aja” Sahit Naira tanpa pikir panjang. Steven menoleh, menatap ke arah Naira yang sama sekali tidak menatapnya karena perhatiannya sedang terarah kearah handphond yang ada di tangan.
“Kau sama sekali belum makan siang dan kali ini hanya memesan mie so?. Tidak. Kau harus makan nasi”.
“He?” Naria menoleh. Baru menyadari kalau Steven menatap kearahnya sebelum kemudian beralih kearah pelayan dan menyebutkan aneka makanan yang membuat kening Naira berkerut.
“Kalau kau sudah menentukan pilihannya kenapa tadi kau menawariku untuk memilih” Gerut Naira.
“Kau tidak suka?” tanya Steven hati – hati. Naira terdiam.
“Maaf. Aku hanya tidak ingin kau sakit nantinya” Sambung Steven lagi. Kedua matanya menatap lurus kearah Naira yang kini juga sedang menatapnya. Merasa tak mampu menyaingin tatapan mata setajam elang Naira mengalah. Mengalihkan tatapannya kesekeling.
“Oh ya, setelah ini kau mau kemana?” tanya steven memecah keheningan.
“Tidak ada” balas Naira Sambil menggeleng. “Sepertinya aku mau langsung pulang saja”.
“Keberatan tidak jika aku minta bantuan?”.
“Tergantung. Kalau memang aku bisa kenapa enggak?. Memangnya kau mau minta tolong apa?” tanya Naria lagi.
Untuk sejenak Steven terdiam sebelum kemudian mulutnya berujar “Hari ini pikiran ku benar – benar sedang kusut. Kerjaan menumpuk, belum lagi masalah lain nya?”.
“Jadi?” Tegas Naira yang masih belum mengerti arah permbicaraan mereka.
“Ehem, kau mau menemaniku jalan – jalan sebentar?”.
Naira mengernyit. Menatap kearah steven yang kini juga sedang menatap penuh harap kearahnya. Tanpa sadar bibir Naira tersenyum dan mengangguk pelan saat mendapati tatapan sosok yang ada di hadapannya.
“Oke... Kalau begitu ayo segera kita nikmati dulu makan siang nya” Ajak Steven karena kebetulan pesanan mereka memang sudah terhidang. Naira tidak berkomentar apa – apa walau tak urung mengikuti ajakan Steven barusan.
Selesai makan, sesuai rencana mereka jalan – jalan di taman kota. Pilihan terakhir setelah Berulang kali Naria menyebutkan aneka tempat yang mungkin bisa mereka datangi. Tak terasa mereka sampai di kursi taman. Steven menghentikan langkahnya. Mengajak Naira untuk duduk sejenak sambil bercerita santai.
“Naira, Kau sering jalan kesini?” tanya Steven sambil menatap ke sekeliling. Udara yang segar benar – benar membuatnya merasa nyaman.
“Tidak juga” Naira Menggeleng. “Hanya kadang – kadang jika aku merasa suntuk” Sambung Naria lagi. Steven tampak mengangguk mendengarnya.
“Bunga apa yang paling kau sukai?” tanya Steven kemudian. “Mawar, melati, Lili atau...”.
“Kembang sepatu” Potong Naira.
“Mawar terlalu angkuh. Melati, terlalu lemah. Lilly, terlalu anggun. Aku lebih menyukai kembang sepatu. Bisa tumbuh dan hidup di manapun. Mekar dan layunya juga tidak banyak menarik perhatian orang. Sederhana namun memiliki kelima sarat kesempurnaan bungga” Sambung Naria sambil menatap kesekaliling dimana memang tampak begitu banyak aneka tanaman bunga.
“Hei, kenapa kau malah terdiam dan menatap ku seperti itu?” tanya Naira saat mendapati tatapan steven yang ternyata sedari tadi terjurus padanya.
Steven mengeleng sambil tersenyum. “Tidak, aku hanya merasa sepertinya kau benar. Kau lebih mirip kembang sepatu dari pada bunga lainnya”.
“He?” Kening Naria berkerut bingung. “Maksutmu?”.
Lagi – lagi steven tersenyum. Menatap kearah langit yang terlihat mendung.
“Sepertinya hari akan hujan”.
Naira mencibir. Pertanyaannya di kacangin. Namun tak urung ia mengangguk membenarkan saat melihat awan yang berarak. Bahkan tak selang beberapa saat kemudian ia juga merasakan titik – titik air yang mulai mentetes. Hujan?. Sekarng?. Oh tidak. Tanpa isarat dan aba – aba ia segera berlari kearah pohon yang tumbuh di taman. Untung hanya gerimis sehingga kerimbunan pohon mampu sedikit melindunginya. Namun yang ia cemaskan adalah bahwa tidak menutup kemungkinan kalau gerimis akan segera berubah menjadi hujan lebat. Apalagi langit memang terlihat gelap.
“Naira, pakai ini”.
Naira menoleh. Mendapati Steven yang tampak menyodorkan Kemeja yang ia pakai tadi semtara ia sendiri tampak hanya mengenakan kaus oblogong yang memang di jadikan dalaman. Naira tersenyum, baru menyadari kalau ia tidak sedang sendiri.
“Baiklah, kau tunggu di sini. Biar aku mengambil mobilnya duluan” Sambung Steven lagi.
“Tidak, aku langsung ikut saja” Potong Naira.
“Kau di sini saja. Aku janji akan segera datang sebelum benar – benar hujan. Kau Berteduh di sini saja” Potong Steven.
Kali ini naira membalas dengan anggukan walau tak urung ia merasa cemas. Tanpa banyak kata Steven segera berlari menuju kearah mobilnya di parkir.
Sambil menunggu Steven muncul, Naira merapatkan tubuhnya kearah bawah pohon. Mejadikan kemeja Steven sebagai payung karena Gerimis sepertinya sudah mulai berubah menjadi hujan. Matanya menatap kearah Jalanan, namun Steven belum juga menampakan wujudnya.
Sementara Steven sendiri tampak sedang berusaha menyalakan mesin mobilnya yang tidak tau kenapa tidak mau menyala. Ditambah lagi hujan juga semakin deras membuatnya merasa cemas akan Naira. Bodoh, harusnya tadi ia tidak perlu meninggalkan gadis itu sendirian rutuknya sendiri. Untunglah Setelah beberapa saat mencoba akhirnya mobil itu menyala juga. Dengan cepat ia melesat menuju kearah Naria.
“Naira, ayo masuk” Kata Steven sambil membuka kan pintu untuk Naira yang terlihat setengah berlari menuju kearahnya. Begitu naira masuk segera ia beralik ke balik kemudian.
“Naira , kau tidak papa kan?” tanya steven saat melihat raut pucat Naira yang kini duduk di sampingnya.
Mencoba untuk tetap tersenyum Naira mengangguk berlahan. Meyakinkan Steven bahwa ia baik – baik saja.
“Maaf, Tapi kau bisa langsung mengantar ku pulang kan?” tanya Naira. Gantian Steven yang mengangguk. Dengan cepat di nyalakan mobilnya melaju kearah rumah naira. Sepanjang jalan Steven telah berulang kali menanyakan keadaan Naira yang terlihat makin pucat.
“Aku baik – baik saja. Kau tidak perlu cemas. Hanya saja memang sedikit pusing. Tapi setelah sampai rumah nanti aku akan langsung minum obat dan istirahat. Mudah – mudahan tidak kenapa – napa” Kata Naira mencoba menenangkan saat menyadari kalau Steven jelas menghawatirkannya.
Steven mengangguk sambil membelokan mobilnya kearah rumah bercat kuning. Rumah yang ia ketahui sebagai tempat Naira bernaung.
Begitu menyadari ia sudah mencapai pekarangan rumah, Naira bersiap bangkit berdiri.
“Naira, tunggu dulu” Tahan Steven sebelum naira sempat keluar dari mobil.
“Ada apa?” tanya Naira.
Mulut Steven terbuka. Melihat Raut Naira yang jelas pucat membuatnya merasa cemas. Apalagi Ia tau Naira tinggal sendirian. Tapi ia juga ragu untuk menawarkan diri menemani. Ia takut Naira akan salah paham nantinya.
“Kalau sampai ada apa – apa, kau janji akan mengabariku kan?”.
Naira tersenyum sambil mengangguk. Mulutnya terasa kelu, kepalanya juga mulai nyut – nyutan. Tapi ia juga tak ingin membuat Steven cemas, makanya ia mencoba untuk menguatkan diri dan berusaha meyakinkan kalau ia baik – baik saja.
“Kau juga hati – hati. Jalanan licin, jangan mengebut. Oke”.
Mendengar Kata yang Naira ucapkan membuat Steven tanpa sadar tersenyum. Kepalanya mengangguk meyakinkan. Naira sendiri segera beranjak bangun. Setengah belari menuju kerumah. Tanpa menoleh lagi ia segera masuk kedalam. Ia benar – benar ingin mencapai kamarnya saat itu juga.
Setelah melihat Naira yang masuk kedalam rumah barulah Steven memutar arah mobilnya. Ia juga sepertinya langsung pulang saja. Tidak mungkin ia kekantor hanya dengan kaos oblong karena kemejanya tadi sudah terlanjur terbawa Naira. Lagipula ini juga sudah sore.