Biarkan segala yang pahit berlalu , kerena bagaimanapun kau masih punya harapan di masa depan.
“Ayo masuk” ajak Naira Sambil melangkah masuk kedalam rumahnya.
Untuk sejenak Steven masih merasa Ragu. Walau ia sudah sering mengantar, jemput Gadis itu untuk jalan bersama nya tapi tetap saja ini untuk pertama kalinya ia masuk kedalam rumah gadis itu yang ia tau pasti kalau hanya ada gadis itu yang mendiami rumah itu.
“Silahkan duduk dulu” Tawar Naira Lagi.
Steven membalas dengan anggukan sementara Naira menuju kearah dapurnya.
“Oh ya, kau mau minum apa?” terdengar suara bernada tanya.
“Tidak perlu repot – repot”.
Tidak terdengar jawaban, tapi lima menit kemudian Naira telah muncul dengan napan berisi dua buah cangkir.
“Maaf, Cuma Air doank. Sepertinya kemaren aku lupa mengisi kulkas di dapur”.
“Tidak masalah. Harusnya kau tidak perlu repot – repot. Justru sebaiknya kau banyak beristirahat. Walaupun kau sudah lebih baik namun tetap saja kau baru sembuh dari sakit” Steven mengingatkan.
Kali Ini Naira mengangguk sambil tersenyum. Untuk sejenak suasana sepi karena masing – masing berdiam diri. Entah kenapa sepertinya aura cangung masih meliputi keduanya.
“Oh ya, Ku ingin bicara”.
Susana kembali hening, Naira dan steven saling menatap saat menyadari kalau mereka mengucapkan kalimat yang sama secara bersamaan.
“Baiklah, Silahkan duluan”.
Untuk kedua kalinya mereka mengucapkan kalimat yang sama secara berbarengan.
“Soal kemaren aku minta maaf”.
“Soal kemaren Ku ucapkan terima kasih”.
Kali ini keduanya serentak tertawa karena lagi – lagi mengucapkan kalimat disaat bersamaan.
“Ehem, Soal kemaren aku mau bilang ma kasih karena kau sudah menyelamatkan aku. Yah menurut cerita suster katanya kau yang membawa ku kerumah sakit” Akhinya Naira kembali buka bicara setelah beberapa saat yang lalu mereka berdiam diri. Sengaja memberi kesempatan pada masing – masing untuk memulai bicaranya.
“Kau tidak perlu berterima kasih. Karena sejujurnya aku merasa lega karena akhirnya kau baik - baik saja” Balas Steven sambil tersenyum.
“Oh ya, Soal kejadian di rumah sakit aku minta maaf. Tidak seharusnya aku bertidak seperti itu” Sambung Steven lagi.
“Nevermind” Balas Naira lagi – lagi tersenyum.
“Tapi aku berharap untuk kedepannya kau tidak lagi menyembunyikan hal sepenting itu dari ku. Kau tidak tau kan bertapa khawatirnya aku saat melihatmu tak sadarkan diri selama beberapa hari”.
“He?” Naira menoleh, Menatap lurus kearah Steven yang juga sedang menatapnya.
“Dan jangan berfikir itu karena rasa bersalah”.
“Jadi?”.
“Tidak tau kenapa aku hanya mengkhawatirkanmu, Aku takut kalau sampai terjadi sesuatu yang buruk padamu. Aku takut untuk membayangkan kalau sampai ...” Steven tidak melanjutkan ucapannya karena ia merasa dadanya sendiri terasa sesak saat mengingat bayangan - bayangan yang menghantuinya selama beberapa hari yang lalu saat melihat Naira terbaring tidak berdaya.
“Kenapa?” Tanya Naira lirih.
“Kenapa kau terlihat Begitu mengkhwatirkan ku?” Tanya Naira lagi karena Steven masih tetap terdiam.
“Apa aku tidak boleh mengkhawtirkanmu?” tanya Steven balik sambil menatap Naira.
Gantian Naira yang terdiam tanpa kata. Lebih tepatnya tidak tau harus berkata apa.
“Naira, kau bisa menemani ku tidak?”
“Kemana?” Tanya Naira sambil mebenahi buku – bukunya dengan sebelah tangan sementara tangan yang lain digunakan untuk menempelkan handphon di telinganya.
“E..... Jalan – jalan”.
“Jalan jalan?” Tanya Naira lagi. “Nggak salah?” sambung nya saat matanya melirik jam yang melingkar di tangan. Hampir pukul dua. Lho, bukannya itu masih jam kantor ya?, pikirnya.
“Kenapa?” Steven balik bertanya.
“Bukannya kau masih harus kekantor ya?”.
“Ha ha ha, Kapan lagi aku bisa memanfaatkan statusku sebagai atasan”.
“Ck ck ck” Naira berdecak sambil mengeleng – geleng sendiri.
“Tapi kau mau kan?” Steven memastikan.
“Mau nggak ya?” Naira berusah mengodanya.
“Harus”...
“Ih kok gitu?”.
“Aku sudah ada di depan kampusmu ni”.
“Ha?. Jangan becanda”.
“Sampai bertemu”.
Dan naira belum sempat untuk membalasnya Steven sudah terlebih dahulu mematikan sambungan telpon mereka. Mau tak mau Naira mempercepat langkahnya. Dan ia hanya mampu mengeleng tak percaya saat mendapati sosok berkaca mata hitam dengan kemeja kotak – kotak yang kini sedang berdiri bersandar di sebuah mobil silver dengan senyum di wajahnya. Membuat beberapa pasang mata kaum hawa menatap kagum padanya.
“Hay,,,...”
“Hay juga” Balas naira sambil melangkah mendekat sementar steven sendiri tampak membukakan pintu untuknya.
“Kita mau kemana?” tanya Steven kemudian.
“lho, bukannya kau yang berniat untuk jalan – jalan, kenapa malah balik bertanya”.
“Aku takut aku salah menentukan tempat”.
“Huwhahhahaha, maksutnya kau berniat untuk mengajaku memancing lagi?”.
“Hahahhaha, tentu saja tidak” steven ikut tertawa mengingat kejadian beberapa waktu silam.
“Ya sudah kalau begitu bagamana kalau kita nonton”.
“Ide bagus, oke deh kalau begitu” Balas Steven cepat tanpa perlu berfikir lagi.
Selesai menonton seperti biasa steven kembali mengantarkan Naira kerumahnya.
“Kau mau minum teh dulu?” Tanya Naira menawarkan.
“Jika kau tidak keberatan”.
Seulas senyum tersunging di sudut bibir naira sebagai jawaban.
“Oh ya, duduk dulu ya. Gue bikin air dulu”.
Steven hanya menangguk sambil melangkah kearah bangku. Matanya memperhatikan sekeliling. Saat mendapati album yang tergeletak diatas meja tangannya terger untuk meraihnya.
Tanpa sadar bibir Steven tergerak saat mendapati foto foto yang tertera di sana. Dimuali dari dua orang anak kecil yang terlihat lucu. Sepertinya itu foto naira dan kakaknya yang ia ceritakan dulu saat mereka berdua masih kecil. Foto berlanjut sampai mereka mulai tumbuh dewasa. Dan senyum di wajah Steven langsung berubah kaget sekaligus tak percaya saat mendapati sosok berseragam SMA yang ada di hadapannya. merasa masih ragu tangannya kembali tergerak untuk membuka lebar demi lembar berikutnya.
“Itu foto kak Nadira. Yang dulu pernah aku ceritain”.
Steven menoleh kaget saat mendapati Naira yang kini ada di sampingnya sambil meletakan napan diatas meja.
“Nadira?” Ulang Steven tercegat.
Naira mengangguk membenarkan.
“Tapi seperti yang sudah aku ceritakan, Bahwa dia sudah meninggal”.
Naira terdiam untuk sejenak sebelum kembali melanjutkan ucapannya tanpa di tanya.
“Kangker. Sakit yang telah di fonis oleh dokter untuknya. Tapi aku justru tau setelah ia tiada. Setelah ia benar – benar pergi. Ia pergi dengan mengorbakan dirinya sendiri demi menyelamatkan orang yang ia cintai”.
“Maksutmu?”.
“Ia memberikan jantungnya untuk orang lain. Kau tau, memangnya di dunia ini siapa yang bisa hidup tanpa jantung?” Naira balik bertanya. Tapi steven tau pertanyaan itu tidak butuh jawaban.
“Kau tau orang itu?” tanya Steven setelah keduanya lama terdiam.
“Siapa?”.
“Orang yang kini memiliki jantungnya?”.
“Tidak dan aku tidak ingin tau”.
“Kenapa?” tanya Steven dengan nafas tercegat.
“Karena aku tidak mau membencinya walaupun jujur aku sangat ingin. Bisakah kau bayangkan, bagaimana mungkin Aku bisa membenci sesuatu yang begitu berarti bagi orang yang paling ku sayangi. Seseorang yang kematiannya paling tidak pernah ku inginkan dalam hidup?”.
“Tidak masalah. Harusnya kau tidak perlu repot – repot. Justru sebaiknya kau banyak beristirahat. Walaupun kau sudah lebih baik namun tetap saja kau baru sembuh dari sakit” Steven mengingatkan.
Kali Ini Naira mengangguk sambil tersenyum. Untuk sejenak suasana sepi karena masing – masing berdiam diri. Entah kenapa sepertinya aura cangung masih meliputi keduanya.
“Oh ya, Ku ingin bicara”.
Susana kembali hening, Naira dan steven saling menatap saat menyadari kalau mereka mengucapkan kalimat yang sama secara bersamaan.
“Baiklah, Silahkan duluan”.
Untuk kedua kalinya mereka mengucapkan kalimat yang sama secara berbarengan.
“Soal kemaren aku minta maaf”.
“Soal kemaren Ku ucapkan terima kasih”.
Kali ini keduanya serentak tertawa karena lagi – lagi mengucapkan kalimat disaat bersamaan.
“Ehem, Soal kemaren aku mau bilang ma kasih karena kau sudah menyelamatkan aku. Yah menurut cerita suster katanya kau yang membawa ku kerumah sakit” Akhinya Naira kembali buka bicara setelah beberapa saat yang lalu mereka berdiam diri. Sengaja memberi kesempatan pada masing – masing untuk memulai bicaranya.
“Kau tidak perlu berterima kasih. Karena sejujurnya aku merasa lega karena akhirnya kau baik - baik saja” Balas Steven sambil tersenyum.
“Oh ya, Soal kejadian di rumah sakit aku minta maaf. Tidak seharusnya aku bertidak seperti itu” Sambung Steven lagi.
“Nevermind” Balas Naira lagi – lagi tersenyum.
“Tapi aku berharap untuk kedepannya kau tidak lagi menyembunyikan hal sepenting itu dari ku. Kau tidak tau kan bertapa khawatirnya aku saat melihatmu tak sadarkan diri selama beberapa hari”.
“He?” Naira menoleh, Menatap lurus kearah Steven yang juga sedang menatapnya.
“Dan jangan berfikir itu karena rasa bersalah”.
“Jadi?”.
“Tidak tau kenapa aku hanya mengkhawatirkanmu, Aku takut kalau sampai terjadi sesuatu yang buruk padamu. Aku takut untuk membayangkan kalau sampai ...” Steven tidak melanjutkan ucapannya karena ia merasa dadanya sendiri terasa sesak saat mengingat bayangan - bayangan yang menghantuinya selama beberapa hari yang lalu saat melihat Naira terbaring tidak berdaya.
“Kenapa?” Tanya Naira lirih.
“Kenapa kau terlihat Begitu mengkhwatirkan ku?” Tanya Naira lagi karena Steven masih tetap terdiam.
“Apa aku tidak boleh mengkhawtirkanmu?” tanya Steven balik sambil menatap Naira.
Gantian Naira yang terdiam tanpa kata. Lebih tepatnya tidak tau harus berkata apa.
Credit Gambar : Ana Merya
“Naira, kau bisa menemani ku tidak?”
“Kemana?” Tanya Naira sambil mebenahi buku – bukunya dengan sebelah tangan sementara tangan yang lain digunakan untuk menempelkan handphon di telinganya.
“E..... Jalan – jalan”.
“Jalan jalan?” Tanya Naira lagi. “Nggak salah?” sambung nya saat matanya melirik jam yang melingkar di tangan. Hampir pukul dua. Lho, bukannya itu masih jam kantor ya?, pikirnya.
“Kenapa?” Steven balik bertanya.
“Bukannya kau masih harus kekantor ya?”.
“Ha ha ha, Kapan lagi aku bisa memanfaatkan statusku sebagai atasan”.
“Ck ck ck” Naira berdecak sambil mengeleng – geleng sendiri.
“Tapi kau mau kan?” Steven memastikan.
“Mau nggak ya?” Naira berusah mengodanya.
“Harus”...
“Ih kok gitu?”.
“Aku sudah ada di depan kampusmu ni”.
“Ha?. Jangan becanda”.
“Sampai bertemu”.
Dan naira belum sempat untuk membalasnya Steven sudah terlebih dahulu mematikan sambungan telpon mereka. Mau tak mau Naira mempercepat langkahnya. Dan ia hanya mampu mengeleng tak percaya saat mendapati sosok berkaca mata hitam dengan kemeja kotak – kotak yang kini sedang berdiri bersandar di sebuah mobil silver dengan senyum di wajahnya. Membuat beberapa pasang mata kaum hawa menatap kagum padanya.
“Hay,,,...”
“Hay juga” Balas naira sambil melangkah mendekat sementar steven sendiri tampak membukakan pintu untuknya.
“Kita mau kemana?” tanya Steven kemudian.
“lho, bukannya kau yang berniat untuk jalan – jalan, kenapa malah balik bertanya”.
“Aku takut aku salah menentukan tempat”.
“Huwhahhahaha, maksutnya kau berniat untuk mengajaku memancing lagi?”.
“Hahahhaha, tentu saja tidak” steven ikut tertawa mengingat kejadian beberapa waktu silam.
“Ya sudah kalau begitu bagamana kalau kita nonton”.
“Ide bagus, oke deh kalau begitu” Balas Steven cepat tanpa perlu berfikir lagi.
Selesai menonton seperti biasa steven kembali mengantarkan Naira kerumahnya.
“Kau mau minum teh dulu?” Tanya Naira menawarkan.
“Jika kau tidak keberatan”.
Seulas senyum tersunging di sudut bibir naira sebagai jawaban.
“Oh ya, duduk dulu ya. Gue bikin air dulu”.
Steven hanya menangguk sambil melangkah kearah bangku. Matanya memperhatikan sekeliling. Saat mendapati album yang tergeletak diatas meja tangannya terger untuk meraihnya.
Tanpa sadar bibir Steven tergerak saat mendapati foto foto yang tertera di sana. Dimuali dari dua orang anak kecil yang terlihat lucu. Sepertinya itu foto naira dan kakaknya yang ia ceritakan dulu saat mereka berdua masih kecil. Foto berlanjut sampai mereka mulai tumbuh dewasa. Dan senyum di wajah Steven langsung berubah kaget sekaligus tak percaya saat mendapati sosok berseragam SMA yang ada di hadapannya. merasa masih ragu tangannya kembali tergerak untuk membuka lebar demi lembar berikutnya.
“Itu foto kak Nadira. Yang dulu pernah aku ceritain”.
Steven menoleh kaget saat mendapati Naira yang kini ada di sampingnya sambil meletakan napan diatas meja.
“Nadira?” Ulang Steven tercegat.
Naira mengangguk membenarkan.
“Tapi seperti yang sudah aku ceritakan, Bahwa dia sudah meninggal”.
Naira terdiam untuk sejenak sebelum kembali melanjutkan ucapannya tanpa di tanya.
“Kangker. Sakit yang telah di fonis oleh dokter untuknya. Tapi aku justru tau setelah ia tiada. Setelah ia benar – benar pergi. Ia pergi dengan mengorbakan dirinya sendiri demi menyelamatkan orang yang ia cintai”.
“Maksutmu?”.
“Ia memberikan jantungnya untuk orang lain. Kau tau, memangnya di dunia ini siapa yang bisa hidup tanpa jantung?” Naira balik bertanya. Tapi steven tau pertanyaan itu tidak butuh jawaban.
“Kau tau orang itu?” tanya Steven setelah keduanya lama terdiam.
“Siapa?”.
“Orang yang kini memiliki jantungnya?”.
“Tidak dan aku tidak ingin tau”.
“Kenapa?” tanya Steven dengan nafas tercegat.
“Karena aku tidak mau membencinya walaupun jujur aku sangat ingin. Bisakah kau bayangkan, bagaimana mungkin Aku bisa membenci sesuatu yang begitu berarti bagi orang yang paling ku sayangi. Seseorang yang kematiannya paling tidak pernah ku inginkan dalam hidup?”.