Foto karya Nana Sastrawan, bukunya bisa didapat di Toko Buku Terdekat.
“Menulis itu mudah daripada membaca.”
Kalimat itu masih saja terngiang ditelingaku, ucapan dari dosen pembimbingku setelah membanting beberapa lembar tulisan tugas akhirku ke atas meja dan pergi meninggalkanku yang terdiam, kesal. Bagaimana tidak? seenaknya saja ia mengatakanku itu, tidakkah ia merasakan betapa sulitnya aku menyusun kata demi kata dari buku-buku teori yang tebalnya seperti bantal atau tidakkah merasakan betapa sulitnya aku mengumpulkan data hasil analisisku? Sialan.
Kini aku melangkah menyusuri gang sempit menuju kamar kos yang sudah beberapa tahun aku tempati di kota ini. Beberapa menit kemudian aku sudah berhadapan dengan komputer dan buku-buku. Apa selanjutnya? Aku hanya duduk termangu, memerhatikan layar komputer dengan microsoft word yang masih kosong seperti pikiranku. Entahlah apa yang harus kulakukan? Tiba-tiba saja aku menjadi seseorang yang bodoh.
Kureguk kopi hitam, kemudian kunyalakan rokok. Mataku memandang seisi kamar, berantakan seperti dalam dadaku. Kegelisahan dari sebuah cita-cita yang sungguh menyebalkan jika harus melakukan pengorbanan, kenapa segala hal di dunia ini harus ada kesulitan? Kasur lipat dengan setumpuk pakaian kotor menambah dadaku semakin sesak, segera saja kualihkan pandangan ke dinding-dinding kamar. Sebuah gambar menjadi pusat perhatian, gambar yang sudah menempel di dinding itu semenjak aku mengontrak kamar ini. mungkin dulu penghuni kamar ini adalah seorang mahasiswa maniak yang hidupnya dihabiskan untuk membaca buku. Einstein, itulah rupanya.
Kudekati, dan berdiri tepat di depannya. Wajah tua yang lucu (sebagian orang bilang gila), rambut putih, dengan lidah menjulur persis seperti orang kepedasan. Leluconku mulai tumbuh di kepala, daripada pusing memikirkan tugas akhir lebih baik aku bersolek, lebih tepatnya berakting. Rambut kubuat berantakan dan kulit wajahku segera kukerutkan kemudian lidah kujulurkan persis seperti Einstein, berulang kali aku melakukan dengan berlenggak-lenggok, lalu aku pun tertawa sendirian. Memang sudah gila.
Merasa cukup aku pun merebahkan tubuh di kasur lipat dengan mata yang terus memandang gambar itu. tiba-tiba...
“Orang tolol.” Terdengar suara yang entah darimana datangnya. Aku mencari sumber suara, nihil.
“Mencari apa kamu. Tolol.” Sekali lagi terdengar.
“Siapa kamu?” Kuberanikan diri bertanya.
“Einstein.”
“Hah.” Terperanjatlah aku mendengar nama itu, lalu ku dekati gambar.
“Kau tidak pantas bergaya seperti aku.”
Ini benar-benar ajaib, gambar itu berbicara kepadaku. Dan aku hanya bengong menatapnya.
“Mengapa diam? Bukankah kau tengah berpikir menjadi aku?” Tanyanya.
“Mu... mung.. mungkin. Sebenarnya aku tengah kesulitan untuk menulis.” Jawabku berusaha menguasai diri.
“Kau tidak akan pernah bisa menulis apa-apa tanpa mengetahui untuk apa menulis.”
“Maksudmu?”
“Benar sekali kau memang orang tolol.”
“Jelaskan padaku?”
Berulang kali aku bertanya pada gambar itu, akan tetapi suaranya sudah tak muncul kembali. kudekati hingga wajahku menempel di wajahnya, akan tetapi ia masih saja bisu. Kurebahkan kembali badanku sementara pikiranku terus saja berpikir tentang kalimat terakhir darinya. Mengapa ia berkata seperti itu? Perlahan, kuingat kembali perjuanganku masuk ke universitas negeri di kota ini dan mengambil jurusan filsafat. Tentunya bukan hanya sekadar main-main belaka, aku ingin menjadi seorang sarjana filsafat, memberikan pencerahan bagi setiap orang termasuk hidupku. Akankah aku gagal dari mendapatkan gelar itu hanya dengan sebuah tugas akhir, bukankah itu berarti aku hanya seorang pecundang. Lalu apa gunanya pengorbanan selama ini?
Aku terperanjat, mungkin ini yang dimaksud Einstein tadi bahwa segala sesuatu yang kita lakukan harus memiliki dasar dan tujuan, begitu pun dengan menulis. Seseorang harus memiliki cara pandang dalam menulis, untuk apa dan untuk siapa? Bukan hanya sebuah tugas akhir. Para penyair, penulis dan sastrawan, profesor mempunyai alasan untuk menulis sehingga ia tak pernah membuang waktunya untuk urusan yang tidak jelas. Itulah sebuah kunci dalam melakukan sesuatu, niat. Sebuah kata yang sungguh lebih nyata dari goresan pena.
Orang tolol. Memang pantas aku menyandang itu jika hanya memikirkan kekesalan dan dendam dari sebuah kritikan dari dosen pembimbingku tanpa melakukan sesuatu. Tanpa pikir panjang aku pun beranjak menuju komputer lalu menulis.
Cerpen Motivasi : Lebih Nyata dari Pena
by Unknown , at 23.43 , has 0
komentar
About
Cerpen Motivasi : Lebih Nyata dari Pena - written by Unknown , published at 23.43 . And has 0
komentar
0
komentar Add a comment
Bck