Gairah Nana Semangat Sastrawan
Oleh : Matdon
Oleh : Matdon
Saya belum lama mengenal Nana Sastrawan, baik sosok maupun karyanya, tapi saya mengenal semangatnya dalam berkarya. Dan untuk memberi pengantar buku puisi ini, kiranya perlu saya katakan kembali, bahwa seseorang bisa sampai pada makom sebagai penyair ketika melalui berbagai proses yang panjang.
Antara penyair dan puisi sama-sama melalui proses. Seseorang tidak akan pernah mencapai “sesuatu” kecuali melalui enam proses, begitupun seseorang tidak pernah disebut penyair kecuali melalui enam proses, ;
Pertama, Dakain. Seseorang bisa disebut penyair jika bisa membuat puisi (tentunya), dan untuk membuat puisi ia harus Dakaain yang artinya cerdas. Orang yang tidak cerdas memahami persoalan hidup, tidak cerdas menggunakan bahasa Indonesia yang baik, tidak cerdas mengaktualisasikan situasi yang ada, maka ia tidak mungkin bisa membuat puisi dengan baik. Penyair harus cerdas memahami berbagai persoalan sosial, pilitik, ekonomi dan budaya, kecerdasan ini akan mengalirkan kekuatan hebat pada akal pikiran dan hatinya untuk tergerak menulis puisi.
Kedua, Hirsin. Menjadi penyair harus melalui proses Hirsin (tertarik atau hobi). Seseorang mampu menulis puisi pada awalnya adalah hobi, dari hobi itulah ia akan berupaya untuk menulis. Latar belakang hobi bisa bermacam-macam, bisa berawal dari hobi menulis kata-kata indah, atau waktu di sekolah pinter merayu wanita teman sekelas, atau membuat surat pada pacar dengan menggunakan puisi sebagai medianya, atau ada juga seseorang nenulis puisi karena memang berbakat dan hobi sejati, bisa juga karena orang tersebut sering gaul dengan seniman, banyak membaca buku sastra atau sering menonton pertunjukan sastra.
Ketiga, Istibar atau sabar. Menulis bukan pekerjaan gampang, ia butuh kesabaran nabi Nuh, butuh ketalatenan Nabi Musa, perlu keberanian Nabi Ibrahim dan Ketulusan Muhammad. Menulis puisi butuh tenaga ekstra, fikiran jernih dan tahajud yang sempurna, bahkan kalau perlu butuh penelitian ilmiah, baik secara struktur estetik maupun muatan yang terkandung di dalamnya.
Keempat, Dzumallin. Menulis puisi ternyata harus Dzumalin; membutuhkan biaya yang cukup mahal. Paling tidak, proses menulis puisi diawali dengan empiris seseorang, baik empiris disengaja ataupun tidak. Empirisme terkadang membutuhkan biaya yang tinggi. yakni biaya uang, tenaga dan pikiran. Misalnya sebelum menulis puisi ia melakukan sebuah penelitian di lapangan tentang persoalan yang sedang dan akan ia tulis, dan itu membutuhkan dana yang besar. Katakan saja ia akan menulis tentang laut, sungai, pelacur, partai politik, dan lain-lain yang perlu mengeluarkan kocek untuk itu, perlu tenaga dan konsentrasi pikiran.
Kelima Irsadun. Arti sebenarnya Irsadun adalah guru atau yang mengarahkan, namun saya ingin memaknainya sebagai kritikus. Seorang penyair butuh kritikus. Sesungguhnya puisi telah mati tanpa lehadiran kritik
Keenam, Tuuli zamanin. Waktu yang panjang merupakan waktu yang dbutuhkan oleh seseorang agar tetap disebut sebagai penyair, artinya seseorang yang baru menulis satu atau dua puisi belum tentu secara tiba tiba disebut penyair, walaupun sah-sah saja ia menyebut dirinya sebagai penyair, tapi kemudian legitimasi penyair tidak ditentukan oleh diri sendiri, yang menyebut seseorang sebagai penyair adalah ummat, karya dan seleksi alam yang mengalir. Jadi, penyair tak beda dengan sebutan Ajengan, ustadz atau Kyai, ia lahir dari masyarakat yang menyebutnya demikian. Menulis puisi yang baik membutuhkan jam terbang cukup lama, jam terbang itu sendiri tidak ditentukan oleh batas waktu setahun atau dua tahun. Kata Acep Zamzam Noor, menulis puisi itu harus berdarah darah.
***
Dari keenam proses tadi, nampaknya Nana sastrawan sudah dan sedang melaluinya dengan baik, ia mampu melewati proses untuk menuju makom diri sebagai penyair. Hal ini bisa dilihat dari puisi-puisinya yang terkumpul dalam antologi Kitab Hujan. Saya melihat gairah yang cukup tinggi dalam sajak-sajaknya. Puisi bagi Nana ibarat sms yang selalu mengggangu tidurnya, kedalaman imaji dan pengolahan pikiran yang liar terdapat pada puisi berjudul “Perempuan”
Aku tenggelam dalam tubuhmu, setiap detik. Selalu
mencumbu pantai di punggungmu
gelombang pasang hilang hening sagara
sia sia dan menyerah
dst
puisi sejenis terdapat pada “Ibuku Perempuan Gila”,”Illusioner”,”Asing”
keindahan bunyi dalam puisi, dan pegolahan kata serta empirisme yang penyair
mampu membawa si pembaca memahaminya pula (dengan penilaian subyektif
masing-masing tentunya). Puisi bisa memberi kita makna yang sangat dalam ketika ditulis dengan kejujuran dan berdasar pada kehidupan yang sesungguhnya.
Simak misalnya larik kemarahan dan kekecewaan pada diri Nana di puisi “Kota, Peluh Dan Tergenang”
kami di atas rumput dengan air liur kering
mereka tertawa dengan air liur menetes
kalian terdiam dengan air liur basah
kita terinjak dengan air liur meludah
kamu ngoceh dengan air liur membuncah
aku menangis dengan air liur habis
Terlalu gagah sebenarnya kalau dikatakan puisi yang baik ibarat kapak tajam yang memecahkan kebekuan es dalam kepala kita. Tapi harus diakui, puisi yang baik selalu menggoda kita untujk membacanya berulang kali. Beberapa puisi Nana
memiliki daya tarik unsur bunyi yang indah, gagasan dan liriknya
bersenyawa, idiomnya sederhana, ada kejutan, jujur dan imaji yang lumayan seperti pada puisi “Percakapan Malam”, “Kekasih”,”Pengantin”,”Kepadamu”,Buih Sepi”.Menggoda kita untuk membaca ulang.
Sesekali Nana terjebak pada keasyikan mengakhiri setiap lariknya dengan irama yang sama, mengingatkan kita pada puisi zaman baheula, simak saja puisi berjudul “Mimpi Kamar Mandi”, dan “ Kelakar”
Pada Puisi berjudul “Perang”, Nana mencoba bermain-main dengan kata-kata, mencoba menulis puisi mbeling, namun ia gagal memaknainya sebagai puisi yang berhasil menjadi puisi yang difahami pembaca.
***
Setiap penyair memiliki wilayah perhatian tersendiri, pun pada diri Nana. Wilayah sosial, politik dan budaya menjadi bagian dari hampir semua puisinya, ia mencoba “masuk” ke dalam persoalan itu. Ada semacam protes lembut dari hampir semua puisinya dalam buku ini.
Sejumlah pengalaman batin, menggambarkan realitas hidup, penuh estetika, idiom, dan metafor ditulis secara gamblang, Ya, Nana memang tengah menulis realitas. Kematangan nalar kemudian menjadi persoalan dalam bekerja menulis puisi, karena meskipun puisi ditulis dengan rekaan kata, tapi isinya adalah realitas kata.
Selebihnya saya salut, Nana tidak bercita-cita ingin menjadi ketua Partai politik, atau anggota DPR, ia lebih menginginkan hati nya dijejali oleh berbagai pengalaman bathin yang mengendap jadi persoalan hidup (sedih, senang, marah dll).
Hanya satu proses lagi yang harus dilalui Nana, ialah memperbanyak membaca ayat-ayat kauniyah dan memelihara kontemplasi yang lebih serius.
Selamat dan tetap semangat!!
Matdon (Rois ‘Am Majelis Sastra Bandung)