Aku ingin suatu saat nanti aku bisa menjadi seorang penulis.
Bukan, bukan seorang penulis yang terkenal atau pun untuk di kenal.
Aku hanya ingin bisa menuliskan sebuah kisah.
Tentang ku, tentang mu, tentang dia, tentang kita.
Tapi, Mungkin kah????.....
Bukan, bukan seorang penulis yang terkenal atau pun untuk di kenal.
Aku hanya ingin bisa menuliskan sebuah kisah.
Tentang ku, tentang mu, tentang dia, tentang kita.
Tapi, Mungkin kah????.....
Setengah berlari Naira menuju kearah halte bus saat merasakan setitik demi setitik air yang menetes dari langit. Tepat saat kakinya menginjakan lantai halte, gerimis telah berubah menjadi hujan. Untung saja ia cepat. Andai ia terlambat lima menit saja, bisa di pastikan ia pasti akan kembali terbaring di rumah sakit tidak kurang dari seminggu.
Sambil terus memandangi rintik hujan yang turun angan Naira melayang. Hujan..... hal yang paling disukai oleh kakaknya namun justru malah menjadi musuh terbesar dalam hidupnya. Sejak kecil ia memang memiliki tubuh yang rentan. Bahkan sedikit gerimis sudah cukup untuk membuatnya terbaring tak berdaya.
Entah sudah berapa lama Naira terdiam disana. Ia juga tidak tau. Yang ia tau seperti biasa. Kini wajahnya telah basah. Tentu saja bukan karena hujan. Atap yang menaunginya sudah lebih dari cukup untuk menjaganya. Namun kini air mata justru turun dari mata beningnya. Hujan memang selalu memberikan kenangan tersendiri dalam hidupnya. Kenangan paling menyakitkan sekaligus paling membahagiakan yang tidak akan pernah ia lupakan seumur hidupnya.
“Hatshim...”
Naira menoleh. Ia baru menyadari kalau ternyata ia tidak sendirian di sana. Masih ada seseorang lagi yang berdiri tak jauh darinya. Sepertinya ia juga sedang berteduh guna menghindari hujan yang masih menguyur dengan derasnya. Menyadari itu dengan cepat Naira memalingkan wajah. Tangannya terangkat mengusap air mata, tak ingin terlihat menyedihkan dimata orang yang melihatnya.
Merasa tak sopan membuang wajah dengan tiba tiba, Naira kembali menoleh. Sosok itu masih menatapnya. Membuat Naira sedikit menunduk kan wajah sambil mencoba melemparkan senyuman di bibir. Sekedar sapaan singkat tanpa suara.
Tak lama berselang akhirnya hujan pun mulai mereda. Dengan cepat Naira bangkit berdiri. Ia harus cepat – cepat ke kampusnya. Masih tersisa 30 menitan lagi sebelum mata kuliah kedua dimulai. Namun sebelum pergi sekali lagi Naira menoleh, melemparkan senyuman dibibirnya. Senyuman tulus yang selalu mampu membuat orang – orang yang melihatnya ikut tersenyum. Tak terkecuali orang itu.
Selaku anak Sastra, keseharian Naira memang lebih sering ia habiskan bersama tumpukan buku. Terlebih membaca memang merupakan aktifitas yang paling ia sukai. Bukan bermaksut menutup diri, tapi ia emang lebih suka menghabiskan waktu berjam – jam dengan buku di tangan dari pada harus berkumpul mengosip bersama teman – temannya.
Dan pagi itu, setelah mandi dan berpakaian rapi, dengan ringan Naira melangkah keluar dari rumahnya. Tak lupa ia mengunci pintu. Kebetulan hari ini kuliah libur, Naira sengaja berniat untuk mengunjungi perpustakaan kota. Menghabiskan waktu liburnya dengan membaca. Terlebih ia memang sudah lama tidak kesana. Dari pada ia harus ketoko buku guna mengimbangi hobi membaca, Naira lebih suka menjadikan perpustakaan sebagai pilihannya. Itung – itung menghemat uang sakunya.
Hampir seharian ia berada di sana. Jika di tanya tempat apa yang paling ia sukai, maka tanpa pikir panjang ia akan langsung menjawab perpustakaan. Tempat dimana suasana tenang namun mengasikan. Setidakknya itu menurutnya. Mungkin Naira akan masih betah berjam jam lagi disana kalau saja perutnya tidak terasa minta diisi. Sejenak dialihkannya tatapan dari lembaran bacaan kearah jam yang melingkar ditangan. Melihat waktu yang tertera Naira tampak menghela nafas. Ditutupnya buku yang belum selesai ia baca. Pantas saja perutnya terasa lapar, ternyata jam makan siang sudah lewat. Bahkan sekarang sudah hampir pukul dua siang. Sementara tadi pagi ia hanya sarapan sepotong roti dan segelas teh hangat.
Setelah memilah beberapa buku lagi yang menurutnya cukup bagus untuk di baca, Naira berjalan menuju kearah meja penjaga sembari berpikir, mungkin sebaiknya buku itu ia pinjam saja agar bisa ia baca di rumah sambil nyantai di tempat tidur. Sambil terus melangkah melewati lorong rak rak buku yang berjejer tinggi, Naira tidak menyadari kalau ternyata di lorong sebelah juga ada seseorang yang kebetulan ingin lewat. Dan sepertinya orang itu juga tidak terlalu memperhatikan jalannya karena perhatiannya tertuju kearah judul buku yang berjejer, membuat keduanya secara tidak sengaja bertubrakan.
Sebelum Naira menyadari apa yang terjadi, buku buku yang sedari tadi di tangannya kini sudah berserakan di lantai. Menimbulkan sedikit bunyi gaduh yang sempat membuat beberapa orang menoleh kearahnya. Sementara Naira hanya sedikit membungkukkan badan. Tanda permintaan maaf karena sudah membuat keributan sebelum kemudian ia menunduk. Mengumpukan kembali buku bukunya.
“Maaf.”
Naira tidak menjawab atau pun menoleh. Tangannya masih bergerak kesana kemari meraih buku – bukunya. Saat tangannya ingin meraih sebuah buku yang terakhir pada saat yang bersamaan tangan yang lain juga berniat untuk melakukan hal yang sama. Reflek Naira mendongak. Matanya langsung menatap wajah dengan mata hitam yang tajam yang kini sedang menatapnya dengan jarak yang cukup dekat.
“Maaf, apa kau baik – baik saja?”
“He?” Naira mengernyit heran. “Oh, iya. Aku tidak apa – apa” Sambung Naira lagi sambil mengalihkan pandangannya. Sementara dalam hati tak henti memaki dirinya sendiri. Bagaimana bisa di saat ini ia malah terpesona dengan sepasang mata hitam yang ada di hadapannya. Astaga, ia pasti sudah gila.
“Kau…?”
“Ya?” tanya Naira dengan kening berkerut saat melihat raut kaget yang tergambar di wajah sosok yang ada tepat di hadapannya.
“Apa kita pernah bertemu sebelumnya? Atau apakah kita sudah saling mengenalh?” sambung Naira lagi.
“Oh tidak. Bukan. Maksut ku mungkin kita memang pernah bertemu tapi kita tidak saling mengenal.”
Naira mengangguk sambil tersenyum maklum. Berniat untuk langsung pergi jika saja telinganya tidak terlebih dahulu mendengar kelanjutan kalimat dari pria yang ia tabrak itu.
“Tapi sepertinya tiada salahnya kalau kita saling mengenal,” Pria itu tampak tersenyum tipis sembari mengulurkan tangannya.“Steven,” sambungnya kemudian.
Naira terdiam. Walau merasa sedikit ragu namun pada akhirnya tanggannya juga terulur menyambut uluran tangan di hadapannya.
“Naira”
“Naira” Ulang Steven menyebutkan namanya. “Senang bisa berkenalan denganmu”
“Aku juga,” balas Naira berbasa – basi.
“Keberatan jika ku ajak makan siang bersama?”
“Ya?” ulang Naira tidak yakin. Sementara Steven justru melemparkan senyuman manis di bibirnya.
Naira sendiri tidak tau pikiran apa yang merasuk di kepalanya sehingga dengan santainya ia menyetujui tawaran Steven. Sepertinya senyuman pria itu cukup manis sehingga ia tergoda atau memang karena perutnya terlalu lapar sehingga otaknya tidak bergungsi dengan baik. -,-
Sambil menunggu pesanannya datang, keduanya duduk dalam diam. Naira sendiri tidak tau bagaiman memulai pembicaraannya. Ayolah, bukan ia yang harus memulai permbicaraan bukan?.
“Apa Kau memang suka membaca?”
“He?” Naira segera menoleh. Mendapati wajah Steven yang sedang menatapnya.
“Oh, Suka. Maksut ku sangat."
“Oh ya?”
Naira mengangguk mantap. Steven terdiam sambil berpikir untuk sejenak sebelum mulutnya kembali terbuka untuk bertanya.
“Bacaan apa yang paling kau sukai?”
“Semuanya” Balas Naira lagi.
“Benarkah?” Steven pasang tampang tak percaya. “Kenapa?”
“E... kenapa ya?” Naira tampak berpikir. “Alasannya cukup banyak si sebenarnya.”
“Aku boleh tau?”.
“Kau tertarik mendengarnya?” Naira balik bertanya yang di balas anggukan penuh minat oleh Steven.
“Nah, sebelum aku menjawab. Aku boleh nanya duluan nggak?”
“Ah, sepertinya kau tidak tertarik menjelaskan” Komentar Stevem dengan nada bercanda.
“Tapi baiklah, kau ingin bertanya apa?”
“Kau tau perintah apa yang pertama kali di turunkan Allah pada nabi Muhammad?”
Steven tidak langsung menjawab. Keningnya sedikit mengernyit tanda ia sedang berfikir, atau justru ia malah sedang mengingat – ingat. Naira yang melihatnya hanya mampu menduga – duga sendiri. Ayolah, masa untuk pertanyaan yang cukup sederhana itu ia tida tau. Jangan – jangan ia bukan orang muslim lagi.
“Em..... Iqro?” jawab Steven dengan nada bertanya. Membuat Naira tersenyum samar.
“Yups, kau tau apa artinya?” tanya Naira lagi.
“Bacalah” walau tidak tau kemana arah pembicaran ini akan di bawa, Steven tetap menjawab pertanyaanya.
“Tepat. Nah, kau sekarang aku tanya lagi. Apa kau tau apa yang harus di baca?”
“Yah, kau ini berniat menjawab pertanyaan ku tidak si. Kenapa justru sepertinya malah kau yang sedari tadi banyak bertanya” gumam Stven dengan nada memprotes.
“Kau kan hanya tinggal menjawab. Apa susahnya sih. Jadi menurutmu, apa yang harus di baca ketika perintah pertama diturunkan pada nabi?” ulang Naira mempertegas pertanyaannya.
“Tentu saja Al – Qur’an” sahut Steven yakin.
Naira sedikit tersenyum simpul sambil mengeleng pelan. “Saat itu Al –Qur’an nya saja belum di turunkan. Lantas apa yang mau di baca?”.
Kali ini gantian Steven yang terdiam. Sibuk mencerna kalimat yang keluar dari mulut gadis yang kini duduk dihadapannya. Perlahan kepalanya mengangguk membenarkan. Sepertinya pembicaraan ini akan menarik.
“Jadi menurutmu apa yang harus dibaca?”
Lagi – lagi Naira tersenyum, tapi kali ini senyumnya bukan untuk Steven melainkan ia tujukan pada pramusaji yang kini berdiri disampingnya sambil meletakan satu persatu piring pesanan mereka. Setelah pelayan itu berlalu barulah ia kembali menatap kearah Steven yang ternyata masih menunggu jawabannya.
“Sampai dimana tadi?”
Steven memutar mata walau tak urung mulutnya berujar. “Jadi menurut mu apa yang harus di baca?”
“Al-Quran. Itu pastinya” jawab Naira membuat Steven mencibir mendengarnya. Kirain ada yang beda, ternyata sama saja. “Tapi menurut ku mungkin Tuhan punya perintah yang lebih mendalam dan lebih luas seandainya kita mau lebih menggalinya. Dan masih _menurut ku _ membaca itu tidak harus Al – Qur’an ataupun bacaan yang berbentuk buku maupun tulisan. Misalnya, Kita bisa membaca situasi , kehidupan, bahkan kita juga bisa gejala alam.” Jeda untuk sejenak. Naira juga tampak memperhatikan reaksi Steven, apa mungkin pembicaraan itu mejadi membosankan. Saat melihat Steven masih menatapnya dengan raut ingin tau membuat Naira kembali buka mulut melanjutkan ucapannya.
“Selain itu seperti kata orang – orang bijak. ‘Membaca ada lah jendela dunia’. Kalau kau ingin melihat dunia, cukup buka jendela rumah mu. Kau akan tau bahwa hari sedang hujan saat melihat air yang jatuh dari langit tanpa perlu kau berdiri di bawahnya. Kau tidak perlu mengalami sesuatu untuk tau bagaimana rasanya, cukup dengan mengetahuinya, mempelajarinya, dan mengamati. Dan kebanyakan ilmu yang kudapat juga dari membaca”.
“Benarkah?. Sepertinya masuk akal”.
“Tentu saja. Walau bagaimana pun aku kan manusia masa kini. Semua yang ku katakan harus masih berdasarkan logika”.
“He he” Steven tak mampu menahan kekehan nya saat mendapati wajah cemberut Naira saat mengatakan kalimatnya barusan.
Dan sebelum mulut Steven kembali terbuka sang pelayan sudah terlebih dahulu menginterupsinya. Mengantar pesanan makanan mereka yang masih tersisa. Mau tak mau permbicaraan di hentikan sejenak. Namun sambil makan sesekali mereka masih sedikit mengobrol ringan. Dan Steven sudah bisa menyimpulkan kalau ia tidak akan pernah bosan berada di samping gadis itu.
Sambil terus memandangi rintik hujan yang turun angan Naira melayang. Hujan..... hal yang paling disukai oleh kakaknya namun justru malah menjadi musuh terbesar dalam hidupnya. Sejak kecil ia memang memiliki tubuh yang rentan. Bahkan sedikit gerimis sudah cukup untuk membuatnya terbaring tak berdaya.
Entah sudah berapa lama Naira terdiam disana. Ia juga tidak tau. Yang ia tau seperti biasa. Kini wajahnya telah basah. Tentu saja bukan karena hujan. Atap yang menaunginya sudah lebih dari cukup untuk menjaganya. Namun kini air mata justru turun dari mata beningnya. Hujan memang selalu memberikan kenangan tersendiri dalam hidupnya. Kenangan paling menyakitkan sekaligus paling membahagiakan yang tidak akan pernah ia lupakan seumur hidupnya.
“Hatshim...”
Naira menoleh. Ia baru menyadari kalau ternyata ia tidak sendirian di sana. Masih ada seseorang lagi yang berdiri tak jauh darinya. Sepertinya ia juga sedang berteduh guna menghindari hujan yang masih menguyur dengan derasnya. Menyadari itu dengan cepat Naira memalingkan wajah. Tangannya terangkat mengusap air mata, tak ingin terlihat menyedihkan dimata orang yang melihatnya.
Merasa tak sopan membuang wajah dengan tiba tiba, Naira kembali menoleh. Sosok itu masih menatapnya. Membuat Naira sedikit menunduk kan wajah sambil mencoba melemparkan senyuman di bibir. Sekedar sapaan singkat tanpa suara.
Tak lama berselang akhirnya hujan pun mulai mereda. Dengan cepat Naira bangkit berdiri. Ia harus cepat – cepat ke kampusnya. Masih tersisa 30 menitan lagi sebelum mata kuliah kedua dimulai. Namun sebelum pergi sekali lagi Naira menoleh, melemparkan senyuman dibibirnya. Senyuman tulus yang selalu mampu membuat orang – orang yang melihatnya ikut tersenyum. Tak terkecuali orang itu.
Cerpen romantis | Rainbow After Rain
Selaku anak Sastra, keseharian Naira memang lebih sering ia habiskan bersama tumpukan buku. Terlebih membaca memang merupakan aktifitas yang paling ia sukai. Bukan bermaksut menutup diri, tapi ia emang lebih suka menghabiskan waktu berjam – jam dengan buku di tangan dari pada harus berkumpul mengosip bersama teman – temannya.
Dan pagi itu, setelah mandi dan berpakaian rapi, dengan ringan Naira melangkah keluar dari rumahnya. Tak lupa ia mengunci pintu. Kebetulan hari ini kuliah libur, Naira sengaja berniat untuk mengunjungi perpustakaan kota. Menghabiskan waktu liburnya dengan membaca. Terlebih ia memang sudah lama tidak kesana. Dari pada ia harus ketoko buku guna mengimbangi hobi membaca, Naira lebih suka menjadikan perpustakaan sebagai pilihannya. Itung – itung menghemat uang sakunya.
Hampir seharian ia berada di sana. Jika di tanya tempat apa yang paling ia sukai, maka tanpa pikir panjang ia akan langsung menjawab perpustakaan. Tempat dimana suasana tenang namun mengasikan. Setidakknya itu menurutnya. Mungkin Naira akan masih betah berjam jam lagi disana kalau saja perutnya tidak terasa minta diisi. Sejenak dialihkannya tatapan dari lembaran bacaan kearah jam yang melingkar ditangan. Melihat waktu yang tertera Naira tampak menghela nafas. Ditutupnya buku yang belum selesai ia baca. Pantas saja perutnya terasa lapar, ternyata jam makan siang sudah lewat. Bahkan sekarang sudah hampir pukul dua siang. Sementara tadi pagi ia hanya sarapan sepotong roti dan segelas teh hangat.
Setelah memilah beberapa buku lagi yang menurutnya cukup bagus untuk di baca, Naira berjalan menuju kearah meja penjaga sembari berpikir, mungkin sebaiknya buku itu ia pinjam saja agar bisa ia baca di rumah sambil nyantai di tempat tidur. Sambil terus melangkah melewati lorong rak rak buku yang berjejer tinggi, Naira tidak menyadari kalau ternyata di lorong sebelah juga ada seseorang yang kebetulan ingin lewat. Dan sepertinya orang itu juga tidak terlalu memperhatikan jalannya karena perhatiannya tertuju kearah judul buku yang berjejer, membuat keduanya secara tidak sengaja bertubrakan.
Sebelum Naira menyadari apa yang terjadi, buku buku yang sedari tadi di tangannya kini sudah berserakan di lantai. Menimbulkan sedikit bunyi gaduh yang sempat membuat beberapa orang menoleh kearahnya. Sementara Naira hanya sedikit membungkukkan badan. Tanda permintaan maaf karena sudah membuat keributan sebelum kemudian ia menunduk. Mengumpukan kembali buku bukunya.
“Maaf.”
Naira tidak menjawab atau pun menoleh. Tangannya masih bergerak kesana kemari meraih buku – bukunya. Saat tangannya ingin meraih sebuah buku yang terakhir pada saat yang bersamaan tangan yang lain juga berniat untuk melakukan hal yang sama. Reflek Naira mendongak. Matanya langsung menatap wajah dengan mata hitam yang tajam yang kini sedang menatapnya dengan jarak yang cukup dekat.
“Maaf, apa kau baik – baik saja?”
“He?” Naira mengernyit heran. “Oh, iya. Aku tidak apa – apa” Sambung Naira lagi sambil mengalihkan pandangannya. Sementara dalam hati tak henti memaki dirinya sendiri. Bagaimana bisa di saat ini ia malah terpesona dengan sepasang mata hitam yang ada di hadapannya. Astaga, ia pasti sudah gila.
“Kau…?”
“Ya?” tanya Naira dengan kening berkerut saat melihat raut kaget yang tergambar di wajah sosok yang ada tepat di hadapannya.
“Apa kita pernah bertemu sebelumnya? Atau apakah kita sudah saling mengenalh?” sambung Naira lagi.
“Oh tidak. Bukan. Maksut ku mungkin kita memang pernah bertemu tapi kita tidak saling mengenal.”
Naira mengangguk sambil tersenyum maklum. Berniat untuk langsung pergi jika saja telinganya tidak terlebih dahulu mendengar kelanjutan kalimat dari pria yang ia tabrak itu.
“Tapi sepertinya tiada salahnya kalau kita saling mengenal,” Pria itu tampak tersenyum tipis sembari mengulurkan tangannya.“Steven,” sambungnya kemudian.
Naira terdiam. Walau merasa sedikit ragu namun pada akhirnya tanggannya juga terulur menyambut uluran tangan di hadapannya.
“Naira”
“Naira” Ulang Steven menyebutkan namanya. “Senang bisa berkenalan denganmu”
“Aku juga,” balas Naira berbasa – basi.
“Keberatan jika ku ajak makan siang bersama?”
“Ya?” ulang Naira tidak yakin. Sementara Steven justru melemparkan senyuman manis di bibirnya.
Cerpen romantis | Rainbow After Rain
Naira sendiri tidak tau pikiran apa yang merasuk di kepalanya sehingga dengan santainya ia menyetujui tawaran Steven. Sepertinya senyuman pria itu cukup manis sehingga ia tergoda atau memang karena perutnya terlalu lapar sehingga otaknya tidak bergungsi dengan baik. -,-
Sambil menunggu pesanannya datang, keduanya duduk dalam diam. Naira sendiri tidak tau bagaiman memulai pembicaraannya. Ayolah, bukan ia yang harus memulai permbicaraan bukan?.
“Apa Kau memang suka membaca?”
“He?” Naira segera menoleh. Mendapati wajah Steven yang sedang menatapnya.
“Oh, Suka. Maksut ku sangat."
“Oh ya?”
Naira mengangguk mantap. Steven terdiam sambil berpikir untuk sejenak sebelum mulutnya kembali terbuka untuk bertanya.
“Bacaan apa yang paling kau sukai?”
“Semuanya” Balas Naira lagi.
“Benarkah?” Steven pasang tampang tak percaya. “Kenapa?”
“E... kenapa ya?” Naira tampak berpikir. “Alasannya cukup banyak si sebenarnya.”
“Aku boleh tau?”.
“Kau tertarik mendengarnya?” Naira balik bertanya yang di balas anggukan penuh minat oleh Steven.
“Nah, sebelum aku menjawab. Aku boleh nanya duluan nggak?”
“Ah, sepertinya kau tidak tertarik menjelaskan” Komentar Stevem dengan nada bercanda.
“Tapi baiklah, kau ingin bertanya apa?”
“Kau tau perintah apa yang pertama kali di turunkan Allah pada nabi Muhammad?”
Steven tidak langsung menjawab. Keningnya sedikit mengernyit tanda ia sedang berfikir, atau justru ia malah sedang mengingat – ingat. Naira yang melihatnya hanya mampu menduga – duga sendiri. Ayolah, masa untuk pertanyaan yang cukup sederhana itu ia tida tau. Jangan – jangan ia bukan orang muslim lagi.
“Em..... Iqro?” jawab Steven dengan nada bertanya. Membuat Naira tersenyum samar.
“Yups, kau tau apa artinya?” tanya Naira lagi.
“Bacalah” walau tidak tau kemana arah pembicaran ini akan di bawa, Steven tetap menjawab pertanyaanya.
“Tepat. Nah, kau sekarang aku tanya lagi. Apa kau tau apa yang harus di baca?”
“Yah, kau ini berniat menjawab pertanyaan ku tidak si. Kenapa justru sepertinya malah kau yang sedari tadi banyak bertanya” gumam Stven dengan nada memprotes.
“Kau kan hanya tinggal menjawab. Apa susahnya sih. Jadi menurutmu, apa yang harus di baca ketika perintah pertama diturunkan pada nabi?” ulang Naira mempertegas pertanyaannya.
“Tentu saja Al – Qur’an” sahut Steven yakin.
Naira sedikit tersenyum simpul sambil mengeleng pelan. “Saat itu Al –Qur’an nya saja belum di turunkan. Lantas apa yang mau di baca?”.
Kali ini gantian Steven yang terdiam. Sibuk mencerna kalimat yang keluar dari mulut gadis yang kini duduk dihadapannya. Perlahan kepalanya mengangguk membenarkan. Sepertinya pembicaraan ini akan menarik.
“Jadi menurutmu apa yang harus dibaca?”
Lagi – lagi Naira tersenyum, tapi kali ini senyumnya bukan untuk Steven melainkan ia tujukan pada pramusaji yang kini berdiri disampingnya sambil meletakan satu persatu piring pesanan mereka. Setelah pelayan itu berlalu barulah ia kembali menatap kearah Steven yang ternyata masih menunggu jawabannya.
“Sampai dimana tadi?”
Steven memutar mata walau tak urung mulutnya berujar. “Jadi menurut mu apa yang harus di baca?”
“Al-Quran. Itu pastinya” jawab Naira membuat Steven mencibir mendengarnya. Kirain ada yang beda, ternyata sama saja. “Tapi menurut ku mungkin Tuhan punya perintah yang lebih mendalam dan lebih luas seandainya kita mau lebih menggalinya. Dan masih _menurut ku _ membaca itu tidak harus Al – Qur’an ataupun bacaan yang berbentuk buku maupun tulisan. Misalnya, Kita bisa membaca situasi , kehidupan, bahkan kita juga bisa gejala alam.” Jeda untuk sejenak. Naira juga tampak memperhatikan reaksi Steven, apa mungkin pembicaraan itu mejadi membosankan. Saat melihat Steven masih menatapnya dengan raut ingin tau membuat Naira kembali buka mulut melanjutkan ucapannya.
“Selain itu seperti kata orang – orang bijak. ‘Membaca ada lah jendela dunia’. Kalau kau ingin melihat dunia, cukup buka jendela rumah mu. Kau akan tau bahwa hari sedang hujan saat melihat air yang jatuh dari langit tanpa perlu kau berdiri di bawahnya. Kau tidak perlu mengalami sesuatu untuk tau bagaimana rasanya, cukup dengan mengetahuinya, mempelajarinya, dan mengamati. Dan kebanyakan ilmu yang kudapat juga dari membaca”.
“Benarkah?. Sepertinya masuk akal”.
“Tentu saja. Walau bagaimana pun aku kan manusia masa kini. Semua yang ku katakan harus masih berdasarkan logika”.
“He he” Steven tak mampu menahan kekehan nya saat mendapati wajah cemberut Naira saat mengatakan kalimatnya barusan.
Dan sebelum mulut Steven kembali terbuka sang pelayan sudah terlebih dahulu menginterupsinya. Mengantar pesanan makanan mereka yang masih tersisa. Mau tak mau permbicaraan di hentikan sejenak. Namun sambil makan sesekali mereka masih sedikit mengobrol ringan. Dan Steven sudah bisa menyimpulkan kalau ia tidak akan pernah bosan berada di samping gadis itu.